INTERVENSI ORANG TUA TERHADAP PENGGUNAAN GADGET PADA ANAK DI MASA PANDEMI

Oleh :

Marcellina Shania Calista

Pembatasan penggunaan gadget pada anak bukanlah hal yang asing untuk kita dengar. Pihak sekolah dan orang tua seringkali bekerja sama membatasi penggunaan gadget pada anak dengan membuat larangan-larangan tertentu, seperti tidak diperbolehkannya membawa gadget ke sekolah, batasan jam penggunaan gadget di rumah, dll. Namun hal ini berubah ketika pandemi Covid-19 mulai melanda. Kini anak-anak dipaksa untuk melakukan pembelajaran jarak jauh, atau PJJ, yang mengharuskan mereka belajar dari rumahnya masing-masing dengan menggunakan gadget. Pembelajaran jarak jauh membuat anak-anak tidak dapat melakukan interaksi sosial  dan bermain di luar rumah. Sebagai gantinya interaksi mereka dilakukan dengan menggunakan gadget. 

Besarnya peran gadget selama pandemi membuat orang tua seolah-olah lupa untuk membatasi penggunaan gadget pada anaknya. Penelitian Farida (2020) menemukan bahwa covid-19 membuat anak dan orang tua semakin hari semakin merasa bosan dan jenuh. Hal ini dapat terjadi karena orang tua kurang memberikan perhatian kepada anaknya, sehingga hiburan bagi anak terbatas pada gadget dan elektronik. Minimnya aktivitas yang dapat dilakukan oleh anak di dalam rumah juga membuat anak cepat bosan dan kian merengek untuk diberikan gadget. Demi menghindari rengekan anak, orang tua sering kali langsung memberikan gadget kepada anaknya tanpa berpikir panjang. Akibatnya suasana yang dibangun di dalam rumah kurang hangat dan membuat anak terus bergantung pada gadgetnya.

Peningkatan intensitas penggunaan gadget akibat PJJ dikhawatirkan dapat meningkatkan kecanduan gadget pada anak. Kecanduan gadget dapat membahayakan kesehatan fisik maupun mental anak. Cris Rowan, seorang dokter anak dari Amerika, memaparkan bahwa pembatasan penggunaan gadget pada anak sangatlah penting karena penggunaan gadget yang berlebihan dapat merusak pertumbuhan otak anak. Paparan dari sinar gadget yang berlebihan dapat meningkatkan gangguan pemusatan perhatian, hiperaktivitas, dan menurunkan daya ingat anak. Selain itu, anak juga dapat menjadi antisosial dan lebih tertutup pada keluarga dan orang sekitarnya.

Namun, ini bukan berarti orang tua perlu membatasi anak dari penggunaan gadget sepenuhnya. Bagaimana pun teknologi dan gadget tetap memiliki andil besar dalam membantu perkembangan dan pembelajaran anak. Pembatasan akan gadget yang teralu ketat, terlebih di masa pandemi, juga dapat membuat anak tidak dapat berinteraksi dengan teman-temannya. Padahal, interaksi sosial merupakan hal yang penting dalam menunjang pertumbuhan dan perkembangan anak (Pebriana, 2017).

Lantas, apa yang harus dilakukan orang tua terkait penggunaan gadget anak?

UNICEF telah memberikan beberapa alternatif praktis terkait mengasuh anak di masa pandemi covid-19. UNICEF menerangkan orang tua perlu untuk tetap positif dan tenang dalam menghadapi pandemi dan meluangkan waktu yang berkualitas dengan anak. Orang tua dapat mendiskusikan dan membuat jadwal bersama anak terkait rutinitas yang akan di jalaninya terutama terkait penggunaan gadget. Emosional dan pengelolaan stress pada anak dan orang tua juga menjadi hal penting yang perlu diperhatikan orang tua.

Intervensi orang tua dalam hal membatasi penggunaan gadget anaknya tetaplah diperlukan agar kehidupan anak selama pandemi tidak hanya berputar pada gadget dan elektronik. Menurut saya, pembatasan yang sesuai di masa pandemi ini adalah 1 hingga 2 jam di luar jam belajar, agar anak tetap dapat terhubung dengan teman-teman sekolahnya. Namun, pembatasan ini perlu dilakukan sejalan dengan usaha orang tua untuk meluangkan waktu bersama anaknya. Orang tua dapat mengajak anaknya untuk melakukan aktivitas positif lain, seperti berolahraga, berkebun, bermain board game (monopoli, ular tangga, dsb.), hingga memberikan tugas pekerjaan rumah yang dikemas dalam bentuk permainan. Dengan begitu hubungan antara anak dan orang tua juga dapat semakin harmonis.

Pembatasan akan gadget juga tidak hanya terkait dengan pembatasan waktu penggunaannya. Orang tua perlu untuk melakukan pengawasan terhadap konten yang dapat diakses oleh anak melalui gadgetnya agar meminimalisir anak mengakses konten yang tidak seharusnya. Hal ini dapat dibantu dengan mengaktivkan parental mode pada gadget ataupun aplikasi yang sering digunakan oleh anak, contohnya pada platform youtube. Tidak cukup sampai di situ, orang tua juga dapat ikut menonton apa yang diakses oleh anak. Dilansir dari artikel yang diunggah oleh The Conversation, menonton bersama anak terbukti membuat anak lebih cepat belajar karena adanya bantuan dari orang tua. Menonton bersama juga dapat membuat anak dan orang tua bersama-sama menikmati konten tersebut.

Peran orang tua dalam mendampingi anak sangatlah besar, terutama di masa pandemi ini. Orang tua sangat diperlukan dalam mencegah kecanduan gadget pada anak. Intervensi dan pembatasan yang berlebihan dapat menyebabkan anak menjadi stress dan tidak dapat memiliki interaksi sosial dengan sesamanya. Sedangkan intervensi yang sesuai pada batasnya dapat membuat anak menjadi nyaman dan dapat menjadikan pandemi ini sebagai momentum untuk memperat keharmonisan hubungan anak dengan orang tua.

Referensi

Fadli, Rizal. April 2020. Ini Tips Penggunaan Gadget untuk Anak Selama Pandemi. https://www.halodoc.com/artikel/tips-penggunaan-gadget-untuk-anak-selama-pandemi. (diakses 18 Mei 2021)

Maria, I., & Novianti, R. (2020). The Effects of Using Gadgets during the Covid-19 Pandemic on Children’s Behaviour. Aṭfāluna: Journal of Islamic Early Childhood Education3(2), 74-81.

Pebriana, P. H. (2017). Analisis penggunaan gadget terhadap kemampuan interaksi sosial pada anak usia dini. Jurnal Obsesi: Jurnal Pendidikan Anak Usia Dini, 1(1), 1-11.

Rohayani, Farida. (2020). Menjawab Problematika yang Dihadapi Anak Usia Dini di Masa Pandemi Covid-19. Qawwam14(1), 29-50.

Siahaan, M. (2020). Dampak Pandemi Covid-19 Terhadap Dunia Pendidikan. Dampak Pandemi Covid-19 Terhadap Dunia Pendidikan20(2).

Jangan Lambungkan Peluru dari Jemarimu!

Oleh: Sibghatin Desi Maulida

“Lidah lebih tajam daripada pedang.”—Mungkin kata-kata tersebut sudah menjadi kalimat yang jarang dihiraukan oleh orang zaman sekarang. Terlebih, saat ini merupakan era digital yang mana orang-orang dapat berinteraksi satu sama lain tanpa harus menunjukkan batang hidungnya, yaitu dengan cara bermedia sosial. Itulah mengapa, tak jarang sebagian dari mereka menggunakan kebebasan berselancar di dunia maya dengan semena-mena berbuat semaunya tanpa difilter terlebih dahulu. 

Ringan sekali tangan mereka menuliskan hal yang tidak seharusnya manusia berotak lontarkan. Penulis memperhatikan bahwa masyarakat Indonesia seperti memilik dua muka di waktu bersamaan. Bisa jadi mereka sangat sopan, ramah, dan santun di dunia nyata, namun berulah seperti rubah di kehidupan mayanya. Termasuk pula racun yang mereka teteskan ketika menemui hal-hal yang tidak sejalan dengan ideologinya. Yang akhirnya, racun tersebut larut sampai akar terdalam pada diri korban hingga dapat diibaratkan sebagai bom waktu yang bisa membunuh secara perlahan.

Sadarkah mereka kalau sudah menjadi bagian dari pelaku bullying? Tentu saja di satu sisi mereka sadar, tapi di sisi lain ada yang tidak menyadarinya. Padahal orang-orang yang seperti itu biasanya sangat membenci perilkau bullying—yang mereka ketahui—di kehidupan nyata. Sebab kebanyakan dari mereka hanya mengetahui non-verbal bullying seperti kekerasan fisik, dan semacamnya. Sedangkan, tindakan kurang ajar yang mereka lakukan di dunia maya sudah dianggap hal yang biasa. Karena memang bisa dibilang Indonesia sangat minim edukasi tentang perilaku bullying

Tak heran apabila riset yang dilakukan oleh Microsoft sepanjang tahun 2020 menyebutkan bahwa masyarakat Indoensia merupakan netizen paling tidak sopan di dunia maya. Hal ini seolah bertolak belakang dengan image masyarakat Indonesia di mata orang asing sebagai warga yang ramah dan sopan di kehidupan nyata. Tetapi sejalan dengan riset tersebut, penulis berpikir bahwa tindakan netizen yang berperilaku tidak sopan sebagian disebabkan oleh media sosial yang digunakan sebagai wadah untuk menutupi jati diri. Karena selama penulis menelusuri media sosial seperti TikTok, Instagram, dan Twitter, komentar buruk sering dilontarkan oleh para pengguna akun palsu. Seolah mereka ingin menunjukkan sisi gelap dirinya yang tak bisa ditunjukkan di dunia nyata.

Seperti contoh, pada tahun 2020 akhir banyak konten kreator TikTok yang speakup soal dirinya yang menjadi korban kekerasan/pelecehan seksual. Miris sekali mengetahuinya, karena sebagian dari mereka telah menjadi korban oleh orang-orang terdekatnya seperti tetangga, paman, kakak, bahkan ayahnya sendiri. Terlepas dari benar tidaknya cerita tersebut, tetaplah ada rasa kasihan dan sakit hati dalam diri penulis. Tapi ketika membuka laman komentarnya, mata ini sontak melongo dan perasaan sedihpun seketika berubah menjadi gejolak amarah yang membara. Para netizen yang terhormat nan maha benar berkata bahwa kreator tersebut tidak seharusnya membicarakan kejelekannya di khalayak publik. Sebab menurut netizen, hal itu sama saja seperti menyebarkan aibnya sendiri. Lalu, hadirlah para pendakwah online dadakan, penghujat, dan teman-temannya . 

Beginilah bodohnya sebagian netizen Indonesia. Mereka mengetik tanpa pernah berpikir terlebih dahulu. Pernahkah mereka memikirkan, “Kenapa dan bagaimana bisa orang tersebut malah bercerita ke ranah publik?” Wahai netizen yang terhormat, marilah menjadi netizen yang cerdas ke depannya, jangan langsung menghakimi lalu mem-bully, seolah sedang melambungkan peluru melalui jemari sehingga tanpa sadar membuat orang lain semakin down. Ingatlah jika setiap orang itu berbeda, jangan jadikan ideologi pribadi sebagai standar penilaian terhadap kehidupan orang lain.

Sedikit bumbu-bumbu petuah dari penulis. Pertama, selalu berpositif thinking dan ingat bahwa seseorang yang speakup di media sosial, tandanya sudah tidak lagi mempunyai tempat bercerita—seseorang yang tepat dan tidak menghakimi—di kehidupan nyata. Kedua, ketika seseorang sudah berani speakup di dunia maya, hargailah dan apresiasi dirinya. Sebab, sungguh berat untuk mengatakan sepatah kata saja tentang peristiwa yang menyakitkan dan traumatis. Ketiga, berilah dukungan seperti kata-kata penyemangat tanpa menghakimi agar dia menjadi lebih kuat dan tidak merasa sendiri lagi. Dan keempat, speakup tersebut bukanlah tanda menyebarkan aibnya sendiri. Karena korban adalah seseorang yang dirugikan dan sedang membutuhkan rangkulan serta pertolongan. 

Contoh di atas hanyalah satu kasus dari berbagai kasus lainnya yang marak terjadi di media sosial. Masih banyak lagi sikap ketidak sopanan netizen Indonesia di dunia maya, yang apabila dijabarkan satu per satu sepertinya akan menjadi karangan novel nantinya. Kita tidak seharusnya bangga mendapat gelar netizen paling tidak sopan karena hal ini sepatutnya menjadi sesuatu yang sangat memalukan. Maka dari itu, jagalah ketikan sebelum melontarkan sesuatu, lebih baik dipikir atau dipelajari dahulu ilmunya. Supaya dapat sedikit terlihat sebagai manusia yang cerdas teredukasi.

Menjadi Smart Citizen in Digital Era : Melihat Potensi dan Tantangan Digitalisasi Pasar Tradisional
Oleh : @wong_ngarett1

Menjadi Smart Citizen in Digital Era merupakan agenda bersama dalam hidup di era digital. Era digital sebagai konteks hidup saat ini memiliki perubahan
dalam dinamika sosial budaya. Saat ini masyarakat berada di era digital, era dimana masyarakat menjalani dan menghayati hidup dalam konteks budaya digital.
Masyarakat penting untuk mau mengalami dan menyadari berkembangnya sarana komunikasi digital serta pengaruhnya dalam kehidupan sehari-hari, termasuk dalam berbelanja di pasar tradisional. Berbagai program belajar online di pasaran tradisional di daerah Sleman menjadi hal yang menarik. Dalam dinamikanya, pedagang di berbagai pasar tradisional dalam konteks wilayah Sleman merasa sangat terbantu dan memiliki tantangan baru dalam berjualan secara daring di masa pandemi karena adanya pembatasan aktivitas masyarakat.


Pembatasan aktivitas masyarakat ini tentu memiliki implikasi bagi dinamika pedagang dan pembeli di pasar tradisional. Implikasinya berupa berkurangnya interaksi dan kerumunan di pasar tradisional hingga berbagai ajang promosi dengan penggunaan sosial media yang menawarkan cash back dan gratis ongkir. Sejumlah pasar tradisional di wilayah Sleman yang berusaha menerapkan belanja online ini terdapat di Pasar Godean, Pasar Cebongan, Pasar Sleman, dan Pasar Gamping pada tahun 2020. Ketika berjualan, pedagang hanya tinggal melihat dan merespon transaksi lewat ponsel mereka. Pedagang akan mulai menata dagangan ketika ada pesanan dan tugas selanjutnya ada ojek online yang akan mengambil dan mengantar
pesanan kepada konsumen di rumah mereka masing-masing. Ketika hendak membayar pesanan terdapat berbagai macam cara yaitu dapat dibayarkan melalui dompet digital, transfer ke rekening bank pedangan pasar tradisional, atau dibayarkan secara tunai yang dibayar terlebih dahulu oleh yang mengambilkan barang atau mitra ojek online.


Program digitalisasi pasar tradisional ini sangat layak diapresiasi dan memunculkan berbagai macam gagasan inovasi bagi pengembangan pasar
tradisional di era digital. Penerapan digitalisasi pasar tradisional tentu tidak luput dari berbagai macam potensi dan tantangan. Potensi menguntungkannya dapat mempermudah pedagang pasar tradisional maupun pembeli karena banyak dinamika transaksi yang menguntungkan hingga memberdayakan ojek online di tengah pandemi. Selain itu, pembeli pasar tradisioanal dapat meminimalisir potensi untuk bertemu dengan banyak orang yang membahayakan karena ada Pandemi Covid-19. Bagi pedagang keberadaan digitalisasi pasar tradisional dapat manfaatkan teknologi informasi hingga sosial media sebagai pemasaran produk dalam pasar tradisional. Hal ini juga memberdayakan berbagai pengemudi ojek online karena mendapatkan peran untuk mengantarkan berbagai belanjaan. Ojek online akan diuntungkan karena tidak hanya mengantarkan dan menjemput orang
atau pesanan makanan, tetapi memiliki peranan baru dalam dinamika digitalisasi pasar tradisional.

Simbiosis yang menguntungkan ini perlu dikembangkan karena masa Pandemi Covid-19 masih berlangsung di berbagai tempat di Sleman. Digitalisasi
pasar tradisional ini sejalan dengan semangat Pemerintah Kota Yogyakarta menerapkan sistem pembayaran nontunai di lingkungan pasar tradisional. Hal ini, menjadi urgensi di era digital karena pembayaran dengan uang tunai juga dapat menyebarkan virus di tengah Pandemi Covid-19. Pembayaran dengan metode non-tunai juga meminimalisir berbagai macam resiko seperti peredaran uang palsu. uang lusuh dan rusak uang kembalian yang tidak sesuai dengan transaksi pembayaran di pasar tradisional. Berbagai hal itu perlu dihindari karena menjadi alasan yang sering memicu konflik verbal hingga segregasi sosial antara pedagang dan pembeli di pasar tradisional.


Dinamika pasar tradisional dengan penggunaan pembayaraan non-tunai tentu memiliki tantangan tersendiri. Banyak generasi pedagang di pasar tradisional yang tidak akrab dengan teknologi informasi hingga penggunaan media sosial menjadi tantangan bersama. Hal ini menjadi agenda bersama untuk setiap generasi muda dalam konteks pasar tradisional tertentu dalam membantu pedagang dan pembeli yang tidak akrab dengan penggunaan teknologi informasi. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, berbagai Karang Taruna di wilayah Sleman dengan berbagai potensi generasi mudanya membentuk pokja-pokja bersama sebagai upaya merawat komunitas dalam arus digitalisasi pasar tradisional. Bagaimana menjalani digitalisasi pasar tradisional masih menjadi permasalahan bersama dan keberadaanya menyimpan pertanyaan besar. Mau menjadi Smart Citizen in Digital Era yang seperti apa ?