Unit Kegiatan Mahasiswa Forum Diskusi Ilmiah Mahasiswa (UKM Fodim) Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya resmi membuka rangkaian diskusi Kelompok Pengkajian Masalah (KPM) 2025 melalui KPM 1 dengan tema yang tegas sekaligus menggelitik kesadaran: “Di Era yang Tak Pasti, Sikapmu Harus Pasti – Lawan Seksisme Sejak Dini”. Kegiatan ini diselenggarakan pada Kamis, 26 Juni 2025 di ruang YB-105, Kampus 1 Semanggi, dan menjadi pemantik awal dalam membahas isu-isu sosial yang sering kali dilupakan, namun berdampak dalam kehidupan kampus sehari-hari.
Menelusuri Seksisme dalam Keseharian Mahasiswa
Budaya seksisme di lingkungan kampus tidak selalu hadir dalam bentuk kasar atau mencolok. Ia sering menyelinap dalam candaan, komentar fisik, atau komentar bernuansa seksual yang dianggap “biasa”, padahal sejatinya menyakitkan dan menormalisasi kekerasan. Inilah yang menjadi sorotan utama dalam KPM 1: bagaimana mahasiswa sebagai kaum intelektual perlu menyadari bahwa diam atau netral terhadap seksisme justru memperkuat keberlanjutannya.
KPM sebagai bagian dari program UKM Fodim menjadi wadah bagi mahasiswa untuk belajar berpikir kritis, bersikap reflektif, dan aktif dalam menciptakan ruang aman. Kegiatan ini juga didukung oleh media partner Global Active Student Association (GASA), sehingga menjangkau lebih luas dan mendapat antusiasme tinggi dari lintas fakultas.
Materi Konseptual dan Diskusi yang Membumi
Setelah sesi pembukaan dan pre-test untuk memetakan persepsi awal peserta, dua narasumber mahasiswi Mutiara Ayu Mukti dan Novriani Ambarita membawakan materi utama mengenai “Pyramid of Sexual Violence”. Mereka mengurai bagaimana bentuk-bentuk kekerasan seksual berkembang secara sistematis, dimulai dari akar yang kerap diremehkan: candaan seksis, stereotip gender, dan pelecehan verbal.
Dengan bahasa yang lugas dan relevan, narasumber juga menyisipkan contoh-contoh nyata dari dinamika kampus yang familiar bagi peserta. Hal ini menjadikan materi tidak hanya bersifat teoritis, tetapi juga kontekstual—menyentuh langsung pengalaman hidup peserta sebagai mahasiswa.
Setelah materi, peserta dibagi dalam dua kelompok kecil untuk menjalani sesi Focus Group Discussion (FGD). Dalam suasana yang aman dan terbuka, mereka saling berbagi pengalaman, mengidentifikasi bentuk kekerasan verbal yang pernah mereka alami atau saksikan, dan bersama-sama merumuskan solusi yang bisa diterapkan sehari-hari.
Dari Refleksi Menjadi Aksi
Yang membuat FGD ini berbeda adalah pendekatan reflektif yang kuat. Diskusi tidak berhenti pada pemahaman intelektual, tapi menantang peserta untuk melihat ke dalam diri mereka sendiri—sejauh mana mereka pernah diam terhadap candaan yang menyakitkan, atau bahkan ikut melanggengkan budaya seksis. Di akhir sesi, masing-masing kelompok menyampaikan hasil diskusi mereka, yang mencakup berbagai inisiatif seperti menyuarakan ketidaknyamanan, menciptakan jaringan dukungan antar teman, serta mendorong kampus untuk bersikap tegas terhadap pelaku kekerasan verbal.
Setelah itu, peserta diajak menyampaikan komitmen pribadi—sebuah bentuk ikrar bahwa perubahan sosial bisa dimulai dari keberanian individu untuk bersikap. Sesi ini menjadi penutup yang tidak hanya simbolik, tetapi menyentuh secara emosional: dari yang awalnya hanya datang sebagai peserta, kini pulang sebagai bagian dari komunitas yang sadar dan siap bertindak.
Refleksi Penutup: Ketegasan adalah Tindakan
Alih-alih ditutup dengan kisah alegoris atau kutipan inspirasional, KPM 1 memilih pendekatan yang lebih introspektif. Kegiatan ini ditutup dengan simpulan diskusi dan ajakan langsung untuk membawa pulang satu pesan sederhana tapi bermakna: “Jika kamu tidak bersikap, siapa lagi?”
Dalam dunia yang terus berubah dengan cepat, penuh ketidakpastian, ambiguitas, dan kerentanan, justru keberanian untuk bersikaplah yang akan membedakan kita. Sikap yang berpihak pada korban, yang menolak candaan seksis, yang mau bersuara saat orang lain diam. Itulah tindakan kecil yang menciptakan perubahan besar.
Dengan terselenggaranya KPM 1, UKM Fodim menegaskan kembali komitmennya sebagai ruang aman bagi mahasiswa untuk bertumbuh dalam kesadaran sosial. Kegiatan ini tidak hanya berhasil melampaui indikator keberhasilan secara kuantitatif, tetapi juga berhasil menyentuh sisi terdalam dari makna keberanian: berani untuk tidak diam, berani untuk peduli, dan berani untuk bersikap.
Recent Comments