Hiruk Pikuk Seruan Representasi Diversitas Kecantikan pada Media  Digital : Tulus atau Fulus? 

oleh Immanuela Karina – Juara 1

“Cantik itu tidak harus putih” 

Big is beautiful” 

Ungkapan-ungkapan tersebut tentunya sudah tidak asing bagi kaum hawa. Selama beberapa tahun terakhir, industri kosmetik dan mode gencar  mempromosikan standar kecantikan inklusif melalui platform-platform  digital. Baru-baru ini, jenama pakaian dalam perempuan Victoria’s Secret  mengumumkan di laman instagram resminya bahwa mereka telah merekrut  Sofia Jirau, seorang model yang mengidap down syndrome. Sebelumnya,  Victoria’s Secret telah beberapa kali menampilan model perempuan bertubuh  plus size dalam balutan produk mereka. Victoria’s Secret bukanlah produk  kecantikan pertama yang memberi atensi khusus pada isu keberagaman  perempuan. Pada tahun 2017, Fenty Beauty meluncurkan produk alas bedak  yang memiliki 40 pilihan warna. Hal tersebut merupakan kemajuan pesat bagi  industri kosmetik yang selama ini dipandang kurang memperhatikan  kebutuhan perempuan berkulit gelap. 

Pesan keberagaman yang disiarkan pada kampanye-kampanye digital menunjukan bahwa pada era modern ini, definisi “cantik” sangatlah luas. Di  balik semua itu, timbul berbagai pertanyaan. Sebenarnya, apakah motif dari perlibatan unsur diversitas pada branding perusahaan? Apakah industri  kosmetik dan mode mulai peka terhadap isu-isu sosial yang sedang  berkembang? Mungkinkah seruan diversitas hanyalah bagian dari strategi  pemasaran untuk menarik simpati perempuan minoritas? Polemik ini penting  diselidiki untuk menghindari adanya pembodohan publik.  

Kita harus mengakui bahwa kampanye-kampanye kecantikan yang  mengangkat nilai diversitas telah membawa gebrakan positif bagi hidup  manusia, khususnya perempuan. Kaum perempuan sudah terlalu lama  terpenjara dalam stigma kecantikan yang berorientasi pada negara Barat.  Sebelum maraknya tren representasi keberagaman pada media digital, kecantikan seakan hanya dimiliki oleh mereka yang memiliki fitur  menyerupai perempuan kaukasia−berkulit putih, bertubuh tinggi semampai,  dan berambut lurus. Mereka yang tidak memenuhi kualifikasi tersebut, seperti  perempuan kulit hitam, perempuan Asia, perempuan penyandang disabilitas, perempuan bertubuh gemuk hingga perempuan lanjut usia, sering dipandang  sebelah mata. Lalu, adakah andil korporasi dan media digital dalam mematahkan anggapan usang tersebut? 

Industri mode dan kosmetik serta kaum perempuan merupakan dua  komponen yang tidak terpisahkan. Dengan bantuan media digital, industri  kosmetik dan mode menjadi alat paling ampuh untuk menghapus  eksklusivitas standar kecantikan yang telah terpatri selama bertahun-tahun.  Dengan merangkul model-model yang lebih merepresentasikan semua  golongan perempuan, perempuan minoritas didorong untuk tidak lagi  berpaku pada standar kecantikan eurosentris. Perempuan minoritas pun menjadi lebih percaya diri untuk mengekspresikan kemolekan alami mereka. 

Meskipun memberi maslahat bagi kaum perempuan, “perhatian” yang  ditunjukan oleh jenama-jenama kosmetik dan mode turut mengundang  kontroversi. Seruan-seruan representasi diversitas marak digaungkan industri  kecantikan bertepatan dengan meluasnya fenomena sosial woke movement,  seperti Black Lives Matter dan kampanye Me Too. Fenomena woke  movement bertujuan untuk menghapus diskriminasi bagi golongan minoritas,  seperti perempuan dan orang kulit hitam. Mau tidak mau, perusahaan harus  memperhatikan aspek diversitas jika tidak mau terserang isu rasisme,  seksisme atau sizeist yang dapat mempengaruhi angka penjualan produk.  Salah satu jenama kecantikan yang berhasil memanfaatkan momentum woke  culture adalah Fenty Beauty. Fenty Beauty berhasil meraup keuntungan $100  juta dalam waktu 40 hari setelah peluncuran produk alas bedak mereka. Sama  seperti Fenty Beauty, jenama mode Tanya Taylor mengalami kenaikan laba sebesar 12% dari total penjualan setelah memperkenalkan koleksi plus size pada tahun 2017. Sebaliknya, Victoria’s Secret mengalami penurunan  pendapatan dari $18,6 miliar menjadi $1,1 miliar dalam kurun 5 tahun.  Penurunan drastis ini dipicu oleh tudingan bahwa Victoria’s Secret mempromosikan standar kecantikan yang tidak realistis. Maka dari itu, wajar  saja jika publik berspekulasi bahwa representasi keberagaman yang  ditampilkan Victoria’s Secret pada platform digital semata untuk  memperbaiki reputasi perusahaan. 

Berkaca dari pengalaman-pengalaman korporasi di atas, tampaknya  sudah jelas bahwa kampanye-kampanye diversitas kecantikan industri  kosmetik dan mode merupakan bagian dari strategi pemasaran. Lantas,  bisakah publik menyalahkan korporasi? Tidak. Pada dasarnya, tujuan utama  bisnis adalah mencari keuntungan sebanyak-banyaknya. Dalam mencari  keuntungan, pelaku bisnis boleh menggunakan cara apapun selama tidak  melanggar hukum. Jadi, wajar saja jika korporasi mendompleng fenomena  woke culture yang berkembang di masyarakat. Hal yang tidak wajar adalah  jika perusahaan tidak benar-benar menerapkan nilai-nilai inklusif yang  mereka gembar-gemborkan. Persoalan ini pernah dialami oleh jenama  kosmetik Dove. Pada tahun 2013, Dove menjadi sensasi di dunia maya  setelah merilis video Real Beauty Sketches di Youtube, sebuah kampanye  mengenai penerimaan diri. Pada saat yang bersamaan, Unilever, induk  perusahaan Dove memasarkan Fair and Lovely yang notabenenya adalah  produk pemutih kulit. Sungguh ironis, bukan? 

Fenomena woke culture dimanfaatkan perusahaan kecantikan untuk  meningkatkan keuntungan perusahaan dengan mempermainkan emosi kaum  perempuan. Tidak salah. Justru, terlalu naif jika publik berpikir bahwa  kepedulian korporasi murni untuk tujuan sosial. Pun sah-sah saja jika  masyarakat tetap membeli produk yang ditawarkan. Akan tetapi, konsumen tidak boleh membiarkan korporasi melakukan overclaiming terhadap  pencapaian mereka dalam mewujudkan diversitas representasi kecantikan. Konsumen yang bijak harus mengkritisi aksi nyata yang sudah dilakukan  korporasi, serta sejauh apa pengaruh dari aksi tersebut bagi khalayak ramai.

Peran Media Baru Dalam Mengampanyekan Soft Masculine Masyarakat Digital

oleh Amarilia Shinta – Juara 2

Pembahasan mengenai gender semakin terus berkembang sehingga  menghadirkan banyak agent of change pada platform media sosial. Melalui  fenomena ini menandakan bahwa masyarakat digital mulai terbuka akan  pemahaman baru terkait gender di masyarakat. Pada kalangan milenial  sebenarnya sudah muncul istilah yang dinamakan gender fluid. Gender fluid menurut Katz-Wise (2020) diartikan sebagai perubahan atau dinamika yang  terjadi pada identitas gender seseorang dari masa ke masa. Konsep gender  yang muncul ini didorong atau dipengaruhi oleh tayangan media massa yang  menampilkan akan penolakan terkait tatanan gender yang sudah melekat di  masyarakat. Salah satu bentuk penolakan gender yang mulai sering  ditampilkan melalui tayangan film atau drama adalah karakter laki-laki soft  boy. Karakter laki-laki soft boy merupakan bentuk penyebaran budaya secara  tidak langsung terkait soft masculinity di masyarakat.  

Soft masculinity merupakan suatu budaya yang dibawa oleh Hallyu  Wave atau Korean Wave. Tingginya permintaan akan tayangan drama korea  maupun konten dari Korea Selatan membuat banyak orang di media sosial  menjadi lebih sering terpapar bagaimana gambaran laki-laki dari negara  tersebut. Menurut Jung (2011) di negara Korea Selatan konsep soft  masculinity merupakan perpaduan antara konsep maskulinitas tradisional  Korea (seonbi), konsep pretty boy asal Jepang (bishounen), dan Global  Metroseksual. Asumsi dari soft masculinity adalah laki-laki diartikan sebagai  laki-laki yang cantik, hal ini mengacu pada bahasa Korea “Kkoniminam”  yang mana lebih populer dengan sebutan pretty boys, flower boy, atau soft  boys. Laki-laki diperlihatkan sebagai individu yang mempunyai ciri maskulin  dengan tubuh tinggi dan juga feminism yakni kulit putih serta halus, rambut  yang mengkilau layaknya sutra, dan mempunyai kepribadian yang romantis  serta lembut. 

Citra atau image yang digambarkan pada laki-laki soft masculinity  pada tayangan drama asal Korea Selatan umumnya terdiri dari tiga aspek  yakni politeness, purity, dan tender charisma. Aspek politeness adalah  dimana seorang laki-laki digambarkan sebagai seseorang yang mempunyai  adab atau tata krama yang baik, perhatian terhadap lawan jenisnya, dan juga  santun. Aspek purity merupakan aspek yang menggambarakan bagaimana  seorang laki-laki sedang merasakan jatuh cinta seperti innocent atau polos  serta lugu. Aspek tender charisma menunjukkan bahwa seorang laki-laki juga  mempunyai watak yang tegas dan juga mempunyai sisi lembut layaknya  wanita, biasanya digambarkan pada adegan laki-laki menangis.  

Salah satu drama korea yang mempunyai karakter laki-laki soft boy yakni drama yang berjudul “Our Beloved Summer.” Drama yang sempat naik  daun pada bulan Januari lalu menceritakan dua individu yang pernah menjadi  sepasang kekasih, tepatnya pada lima tahun yang lalu. Choi Ung digambarkan  sebagai seorang laki-laki yang innocent, masih menyayangi sang mantan  pacar dan juga mempunyai hati yang tulus. Kook Yeon Su digambarkan  sebagai perempuan yang cerdas saat di bangku SMA, selalu bekerja keras,  dan menyayangi sang nenek.  

Suatu ketika saat mereka menjalin hubungan kembali, Choi Ung  merupakan laki-laki yang “bucin” atau budak cinta terhadap kekasihnya  sehingga dirinya seringkali menunjukkan rasa cintanya terhadap wanita  tersebut tanpa adanya perasaan malu atau dianggap lebih rendah dari pihak wanita. Ia juga seseorang yang mampu mengungkapkan emosinya, misalnya  saat Choi Ung mengungkapkan bahwa dirinya sedang merasa tidak baik-baik  saja.  

Adapun fakta menarik dari drama Our Beloved Summer yakni cerita  ini ditulis oleh seorang wanita yang bernama Lee Na Eun. Dengan fakta ini  menunjukkan bahwa sebenarnya wanita tidak melulu menginginkan  pasangan pria yang berwatak keras atau menganggap dirinya mempunyai  kedudukan yang lebih tinggi dari dirinya namun mereka menginginkan  seorang laki-laki seperti yang ditampilkan oleh Choi Ung. Melalui karya Our 

Beloved Summer menunjukkan bahwa mereka mampu mematahkan stereotip  bagaimana maskulinitas seorang laki-laki yang masih tertanam kuat di  masyarakat seperti misalnya laki-laki tak boleh lemah ataupun menangis.  

Pada dasarnya media massa dan budaya populer mempunyai kaitan  atau hubungan yang erat, hal ini dapat disebut juga dengan imperialisme  budaya. Menurut Herb Schiller (1973) budaya yang berbeda mampu  memberikan pengaruh kepada audiens yang berbeda budayanya. Adanya  perbedaan budaya ini mampu menciptakan sebuah perubahan. Hal ini juga  senada dengan penjelasan Tuner terkait budaya populer dan media massa  yakni, kepopuleran suatu budaya sangat bergantung pada seberapa jauh media  massa gencar untuk mengampanyekannya, hal ini juga akan mengarah pada  media yang berusaha untuk mencari rating dengan menyajikan program yang  sedang diminati audiens.  

Berdasarkan penjelasan yang sudah dipaparkan, maka konsep soft  masculinity yang dikampanyekan oleh industri media Korea Selatan  mempunyai tujuan untuk membuat audiens akrab dengan budaya baru,  khusunya bagi mereka yang masih awam seperti contohnya negara Indonesia.  Nantinya budaya soft masculinity ini akan mengarah pada penciptaan  konstruksi sosial baru di masyarakat. 

Membungkam Pelaku Bukan Sebaliknya

oleh Stevania Kusuma Nadya – Juara 3

Bukan hanya fisik namun perkataan dapat menjadi senjata  mematikan layaknya bunyi peribahasa “Lidah lebih tajam  dari pisau”. Perkembangan teknologi tak sepenuhnya membatasi ruang gerak pelaku kejahatan. Mengusung tema “diversity in  digital media”, dimana media sosial saat ini hadir dengan berbagai fitur  menarik yang disajikan bagi penggunanya. Fitur yang disajikan seperti  memberikan komentar, mengirim pesan pribadi, filter pada foto, dan lain  sebagainya. Tidak ada yang salah dalam menggunakkan fitur tersebut di  media sosial namun bagaimana seseorang memanfaatkannya perlu  dipertanyakan. 

Media sosial diciptakan dengan tujuan untuk memperoleh informasi  dan inspirasi bermanfaat, namun itu hanyalah harapan belaka. Dikatakan  demikian karena tidak dipungkiri bahwa banyak sekali seseorang  memanfaatkan media sosial untuk tujuan yang salah yaitu wadah memuaskan  hasrat seksual. Pemenuhan kebutuhan seksual kemudian diekspresikan melalui fitur yang tersedia salah satunya mengirim pesan pribadi. Jika anda  pernah mendapatkan pesan pribadi berupa perkataan tidak senonoh yang  menjurus pada kebutuhan seksual maka pelecehan seksual sedang terjadi  pada anda. Tentu pelecehan seksual bukan hal asing di telinga anda tetapi  perkembangannya diikuti dengan kemajuan teknologi semakin beragam  bentuknya. Kini, pelecehan seksual tidak hadir dalam bentuk langsung saja  namun dapat secara tidak langsung.  

Pelecehan tidak langsung dimaksudkan bahwa pelaku secara tidak  langsung melecehkan korban di tempat namun dapat meminta bahkan  memaksa pemilik akun untuk mengirimkan foto alat kelaminnya. Tidak  hanya foto saja namun bisa dalam bentuk komentar merendahkan, contohnya  “punya alat kelamin ukuran kecil saja bangga” dan masih banyak lagi. Bentuk  pelecehan seperti ini seringkali ditemukkan di media sosial dan lebih bebas  dilakukan karena pelaku dapat berlindung dengan nama anonim. Kejadian  tersebut perlu mendapatkan perhatian khusus bagi korban maupun pelaku.  

Seringkali kita penasaran mengenai alasan pelaku melakukan  tindakan tersebut. Jika digali lebih dalam maka akar dari permasalahan  tersebut adalah lingkungan. Pelaku dapat bertindak demikian karena  kurangnya lingkungan mengedukasi pelaku mengenai pendidikan seksualitas sejak dini. Terdapat percobaan yang dilakukan Children’s Institute mengenai  pengaruh edukasi lingkungan dalam psikologi yaitu Still Face with Dads dimana bayi akan membangun relasi dengan ayahnya agar dapat  mengeksplorasi lingkungan sampai dewasa. Percobaan ini membuktikan  bahwa kunci keberhasilan anak dalam mengeksplorasi lingkungan adalah  orang tua. Kehadiran orang tua sangat berarti bagi anak karena seluruh  pengetahuan dasar mengenai dunia termasuk seksualitas berasal dari orang  tua. Seringkali kita menemukan orang tua justru menghindari pertanyaan  seksual karena menganggap itu hal tabu. Pemikiran tersebut salah karena  pada dasarnya anak belum mengetahui hal tersebut tetapi karena orang tua  sudah lebih mengetahui perihal seksualitas maka pikiran negatif itu muncul.  

Mulai saat ini bagi orang tua diluar sana diharapkan menyadari  bahwa kemajuan teknologi menuntut pemikiran baru untuk mau terbuka kepada anak seperti seksualitas. Meskipun dengan pengawasan ketat, anak  mampu mencari celah untuk melakukan pelecehan seksual jika tidak sedari  awal anak dibekali edukasi seksualitas. Pada umumnya, anak akan lebih  canggih dari orang tua sehingga orang tua dapat memberikan pegangan pada  anak untuk tidak bertindak demikian melalui edukasi. Kurangnya edukasi  seksualitas sejak dini tanpa kita sadari dapat melahirkan pelaku pelecehan  seksual di kemudian hari. Edukasi seksualitas dapat dilakukan dengan mau  menjawab pertanyaan anak tentang seksualitas, menonton film atau video  yang sesuai umur anak, dan mengawasi hubungan sosial anak dengan  lingkungannya.  

Selain dari sisi pelaku mari melihat dari sisi korban dimana korban  seringkali memilih diam jika mendapatkan perlakuan tersebut. Tindakan tersebut muncul bukan tanpa alasan namun karena masyarakat seringkali  menyalahkan korban karena foto, pakaian, dan apapun yang digunakkan  korban sehingga “layak” mendapatkan perilaku tersebut. Pemikiran inilah  yang menghambat penuntasan pelecehan seksual. Korban seakan-akan  dipaksa untuk bungkam dibandingkan bersuara. Padahal apa yang dikenakan  oleh korban meskipun tertutup namun jika pemikiran pelaku salah maka hal  tersebut tetap dapat terjadi.  

Kemajuan teknologi bukan berarti tidak diikuti dengan kemajuan cara  berpikir. Semakin mundur cara berpikir maka teknologi akan menguasai anda  bukan sebaliknya. Lingkungan yang tidak mendukung adanya edukasi  seksual maka akan melahirkan pelaku pelecehan seksual. Jangan  membungkam korban pelecehan seksual namun bungkamlah pelaku. Maka  dari itu, mulailah mengubah pemikiran lama menjadi pemikiran abad ke-21  agar pelecehan seksual bukan menjadi ancaman pribadi namun bersama.